Kesehatan mental kini telah mendapat perhatian lebih dalam masyarakat global, mengingat adanya dampak serius yang diakibatkan oleh lemahnya kondisi kesehatan mental. Salah satu bentuk gangguan mental yang cukup menyita perhatian dunia adalah depresi, data terakhir dari World Health Organization (2017), menunjukkan jumlah kasus depresi di Indonesia mencapai 9.162.886 kasus atau 3,7% dari populasi.
Zisook (dalam Pedrelli, Nyer, Yeung, Zulauf, &
Wilens, 2015) menemukan bahwa lebih dari setengah pada semua kasus depresi
terjadi pada masa kanak-kanak, remaja, dan dewasa awal. Depresi juga merupakan
masalah kesehatan mental yang umum terjadi pada mahasiswa dengan tingkat
prevalensi 7-9% (Eisenberg, Hunt & Speer dalam Pedrelli, dkk., 2015). Tahun
2012, penelitian cross sectional study yang dilakukan oleh Maulida pada 32
mahasiswa program sarjana yang melakukan konseling menemukan bahwa 15.6%
mahasiswa mengalami depresi minimal, 21.9% mengalami depresi ringan, 46.9%
mahasiswa depresi sedang, dan 15.6% mahasiswa mengalami depresi berat.
Kebanyakan mahasiswa yang mengalami masalah umum dalam kesehatan mental
cenderung melaporkan sikap negatif dan intensi yang rendah untuk mencari
konseling (Cheng, McDermott & Lopez, 2015).
Sebelum
membahas lebih jauh, ada baiknya kita mengetahui apa itu mental. Menurut Kamus
Oxford, mental adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pikiran. KBBI pun
menjelaskan mental adalah sesuatu yang berhubungan dengan batin dan watak manusia,
yang bukan bersifat badan atau tenaga. Jadi, apabila disimpulkan, mental adalah
segala sesuatu yang berhubungan dengan pikiran, batin, dan watak manusia yang
tidak berwujud fisik. Oleh karena itu, tentu saja mental merupakan salah satu
bagian penting dalam hidup manusia yang perlu dijaga kesehatannya.
Keberadaan
penyakit mental sendiri sudah ada sejak pada saat keadaan belum maju dan
berkembang seperti sekarang. Bahkan pada saat itu, istilah mental belum
diketahui maknanya karena keterbatasan informasi dan ilmu pengetahuan.
Akibatnya, saat itu masalah keseharan mental seringkali dikaitkan dengan
perbuatan iblis, roh jahat, kemarah dewa, ataupun gejala alam. Selama bertahun-tahun,
kesehatan mental mengalami perkembangan secara terus menerus. Setelah zaman
renaissance, pada abad ke-17, barulah muncul tokoh-tokoh psikologi dan
psikiatri. Kemudian, pada abad ke-20 mulai digunakannya pendekatan psikologis
yang mempelopori penanganan penderita gangguan mental secara medis dan psikologis
yang dipelopori oleh Sigmund Freud. Setelah itu pun, kesehatan mental terus
mengalami pembaharuan hingga akhirnya masuk ke Indonesia.
Meskipun
telah mendapat perhatian pada masyarakat global, sayangnya, hingga saat ini masalah
kesehatan mental masih disepelekan dan belum diberikan perhatian khusus oleh masyarakat
Indonesia. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya stigma mengenai gangguan
mental yang sering dikaitkan dengan hal-hal negatif, seperti “gila”. Faktor
budaya seringkali membuat masyarakat memiliki pandangan beragam mengenai
penderita gangguan mental. Selain itu keterbatasan informasi dan ilmu
pengetahuan yang ada di Indonesia juga menambah dampak pada kurangnya perhatian
masyarakat mengenai kesehatan mental ini.
Akibat
dari stigma tersebut, kebanyakan orang lebih memilih untuk melakukan self-diagnosis
melalui internet dan sosial media lainnya. Tentu saja, self diagnosis bukanlah
hal yang baik. Apa yang mereka temukan di internet tidak 100% benar, bahkan
bisa memperburuk kondisi mereka.
Sebenarnya,
sudah cukup banyak orang-orang yang mengerti akan adanya kesehatan mental,
hanya saja tidak menyebar di seluruh masyarakat. Untuk itulah, kita para generasi
Z yang notabenenya generasi yang paling banyak mengalami gangguan kesehatan
mental ini untuk saling mendukung satu sama lain. Tidak perlu menunggu orang
lain bertindak, jadilah orang yang mengawali itu. Ada kalimat yang perlu
dijelaskan lebih lanjut “Cintailah dirimu sendiri, sebelum mencintai orang lain”,
memang hal itu benar, tetapi bukan berarti kita tidak boleh menolong dan membantu
orang lain yang memiliki permasalahan yang sama dengan kita.
No comments: